Masa kecil memanggil pulang
Tidak terasa waktu berjalan begitu
cepat, rasanya bumi ini berputar tidak 24 jam dalam sehari, seperti hitungan
detik saja, padahal baru tahun-tahun
kemaren rasanya aku masih melewati masa kanak-kanak yang menyenangkan. Ingin
rasanya kmbali kemasa-masa indah 20 tahun silam, masa tertawa masih lepas dan
berlari bebas menikmati indahnya areal persawahan sambil menenteng belut hasil
tangkapan, atau masa-masa mandi di sungai yang jernih saling menceburkan kawan dan mengerjai mereka
dengan melempar pasir kekepala. Tak hayal teriakan, suara terkekeh dan
petualangan yang menguras tenaga membuat tidur malam terasa nyeyak dan pagi masih
menyisakan kebahagian, nyaris tanpa beban.
Hari ini aku berdiri kembali ditempat
masa kecil paling menyenangkan, tempat menghabiskan hari-hari bersama teman
sebaya. Sebuah tempat yang sejuk dan nyaman, jauh dari hiruk pikuk dunia
moderen. Sebuah tempat yang mewakili sebuah desa kecil. Namun semua telah
dirampas peradaban, aku hanya bisa memandangi
bangunan mewah bertingkat , padahal
dulunya disini manusia dari laki-laki sampai perempuan, anak-anak hingga orang
tua dari pagi hingga sore ramai mencuci atau sekedar mandi membersihkan diri.
Tabek Padang siamuah itulah nama kolam yang kini ku pandangi dan telah berubah
menjadi sebuah restoran. Kuputar kembali waktu kemasa yang lalu, ku pejamkan
mata sambil menghirup nafas dalam-dalam. satu persatu bangunan beton ku
hilangkan dari pandangan, batu besar yang dulunya ada di tengah kolam ku
datangkan kembali, kutanam dalam pandangan rimbunan pohon di sekeliling kolam,
tak ketinggalan serumpun bambu yang ada di sudut kanan, dibawahnya terdapat
sebuah mata air yang airnya jernih dan mengalir deras memenuhi semua sisi
kolam.
Aku mendapatkan kembali masa itu, suara
knalpot kendaraan menghilang dan berganti dengan suara teman masa kecilku yang
tertawa menjipratkan air, kagum melihat teman yang mahir melakukan lompatan indah
dan mencebur kekolam, atau mengumpat dan berlari berhamburan keluar kolam karna
salah satu teman yang jahil, buang air besar sembarangan dan beraknya mengapung
di permukaan seiring dengan wajahnya yang tanpa dosa. Bahagia sekali masa itu
walaupun kepala kami yang rambutnya pirang tidak teurus di penuhi oleh kutu,
atau kulit kami yang kering hitam legam dibakar matahari dan telapak kaki yang
lebar pecah-pecah karena tak pernah menyentuh sendal.
Hari-hari dilalui dengan petualangan,
ada-ada saja yang kami lakukan menghabiskan masa kecil. Nyaris tak ada
kecemasan dan ketakutan selain jadwal sekolah dan mengaji. Karena hanya inilah
masalah dalam kehidupan kami. Jika sedang tertawa lepas dan asyik bertualang
ada seorang teman yang membahas masalah sekolah atau ustad yang akan menayai
sholat kami maka disaat itulah kebahagian akan sirna. Seperti hantu atau setan
yang merampas nyawa bintang filem horor barangkali seperti itulah gambaran
suasana mengaji dan sekolah dalam kehidupan kami.
Aku masih ingat ketika itu bulan
Rhamadhan, kami menyiapkan sebatang bambu yang dipersiapkan untuk sebuah perang
besar, ya perang meriam sebuah ritual wajib yang harus ada ketika malam
Rhamadhan, meriam yang dibuat dari sebatang bambu dan diberi pemicu kain yang
direndam dengan minyak tanah, sederhana saja namun dapat membuat ribut seisi
kampung. Suara ledakannya hampir seperti meriam sungguhan namun pelurunya
hanyalah sebuah tempurung kelapa yang tidak membahayakan. Tidak sembarang orang
yang boleh memilikinya, pemegang mandat meriam batuang hanyalah pimpinan atau
jendral kami yang biasanya dipilih berdasarkan pengalaman dan keberanianya
dalam melakukan petualangan. Tidak saja orang dewasa, anak-anak juga memiliki
geng atau kelompok bermain yang bersaing satu sama lain untuk merekrut
anggotanya, dan tahun ini akan terasa lebih rame karena dikampung kami yang
kecil ini terdapat 6 geng anak-anak yang dipimpin oleh orang-orang jenius dan
terkenal kenakalannnya, artinya akan ada 6 meriam yang akan saling berperang
bunyi dan memekakkan telinga.
Malam yang ditunggu telah tiba, masing-masing kelompok telah menempatkan posisi meriamnya sesuai
dengan persetujuan siang tadi, jadi tidak ada pertengkaran masalah lahan atau penguasaan
wilayah karena semua telah dibagi berdasakan balasik atau suit. Malang sekali
bagi kelompok kami, karena kami kalah suit dan harus menempati posisi di
samping mushalla, artinya akan banyak sekali bahaya yang mengancam, umpatan
inyiak-inyiak atau nenek cerewet, rotan
mak labai atau buya yang bisa saja tiba-tiba sudah ada dibelakang kami atau
kejaran remaja masjid yang tak segan-segan menonjok atau mencubit kami karena
keributan meriam mengganggu sholat
taraweh.namun semua ancaman itu tidak membuat kami mengurungkan niat untuk
berpesta malam ini, karena memang itulah tujuan sebenarnya entah apa yang ada
dipikiran kami saat itu mungkin inilah bentuk pemberontakan anak –anak terhadap
orang-orang dewasa .
Letusan meriam pertama telah dimulai
dari arah ujung kampung, tepatnya di gerbang utama memasuki desa, kemudian disambut
oleh meriam-meriam lain nya, bunyinya sangat keras dan mengejutkan tapi membuat
kami senang dan bangga. karena kami
berada pada garis depan pertempuran maka meriam kami yang terakhir dibunyikan.
Si ateng salah satu pimpinan pasukan kami sepertinya sudah bersiap untuk unjuk
gigi, tinggal menunggu aba-aba dari kelompok lainnya, bentuk aba-abanya adalah
jika tak ada lagi bunyi meriam itu artinya mereka telah diburu oleh sekawanan
remaja masjid dan disaat itulah kami memainkan meriam terakhir dan paling
fenomenal menuai amarah.
Tibalah saat yang di tunggu-tunggu, dari
kejauhan samar-samar kedengaran teriakan remaja masjid yang dibarengi oleh
anak-anak yang bersorak girang, sepertinya permaianan kejar-kejaran telah
dimulai dan suara meriam tak lagi kedengaran. Tanpa aba-aba si ateng pimpinan
geng kami langsung menyulut korek api dan membunyikan meriam terakhir. Bunyinya
sungguh dasyhat dan membuat kami mulai panik. Namun tak ada satupun anggota
yang melarikan diri karena siapapun yang mencoba berkianat lari duluan maka ia
akan dikucilkan dalam pergaulan. Sudah lebih sepuluh kali meriam dibunyikan
namun belum ada satupun orang dewasa ataupun remaja masjid yang menghentikan
aksi kami. Peluh mengucur deras dan sebagian moral kami mulai ciut, namun
siateng tanpa ada rasa takut terus saja memainkan meriamnya, wajahnya yang
hitam dan keras hanya menyiratkan kesenangan dan kebanggaan karena meriam yang
dia buat sendiri sangat keras sekali bunyinya. Tak salah kami memilih pemimpin
yang berani dan tak takut dengan resiko apapun.
Tiba-tiba dari kejauhan kami
melihat sekumpulan pemuda mendekati
posisi kami, api kami padamkan dan
meriam kami sembunyikan dibalik rumput ilalang, karena kami bersembunyi dibalik
selokan dan rimbunnya pepohonan pemuda-pemuda itu sulit untuk menemukan kami,
ada rasa cemas, ketakutan namun disanalah letak kebahagian kami apabila dapat
melewati semua ancaman dan berkejar-kejaran dengan mereka orang dewasa.
Tanpa diduga sama sekali, ternyata
dibelakang kami telah berdiri angku labai atau buya yang mengajari kami mengaji
di surau, di tangannya rotan sebesar ibu
jari terlihat sangat besar dan menakutkan. Kaki-kaki kami gemetaran dan
peluh mengucur deras, tak ada lagi yang dapat kami lakukan, bahkan untuk
berlari sekalipun kami tak sanggup, entah ilmu apa yang dipakai buya ini
sehingga keberanian dan kenakalan kami langsung ciut melihat sosoknya yang
berwibawa. “anak kurang ajar, tak diajari etika dan sopan santun, ayo ke surau semuanya kalian harus diberi pelajaran”.
Kami pun menurut kepada buya, tak ada yang bisa membantah karena jika saja ada
yang kabur ia akan di kucilkan dari kelompok dan akan dijemput buya kerumahnya
masing-masing, jadi tidak ada pilihan kami harus nurut dan menerima resiko atas
kenakalan yang kami lakukan.
Di surau atau masjid kami dibariskan dan
dirotan seratus kali ditelapak kaki, bukan main rasa sakitnya. Ada yang
menangis dan berjanji tak lagi mengulanginya, ada yang malah tertawa terkekeh
melihat temannya kena rotan dan berbalik meraung ketika datang giliran nya di
eksekusi buya. Namun keesokan harinya derita semalam menjadi cerita
menyenangkan ketika kami kembali mandi-mandi di kolam.
Barangkali tidak
semua orang pernah mengalami masa kecil seindah masa kecilku dulu. Masa kecil
yang dihiasi dengan canda tawa, kreatifitas anak-anak sekelas kampung yang
mainan sehari-harinya dekat dengan alam. Memandikan kerbau di sungai, menyabit
rumput, memancing belut, menjarah buah-buahan tetangga dan masih banyak lagi
kegilaan lainnya. Kami tidak dekat dengan teknologi, jangankan hp, televisi pun
hanya beberapa orang yang memilikinya, jika saja ingin menonton tv biasanya
hanya bisa kami dapatkan jika sipemilik tv membolehkan kami menonton lewat
jendela, itupun tidak bisa berlama-lama karena jika ada yang berisik tv akan
dimatikan dan jendela ditutup rapat-rapat. Biasanya kalau ini terjadi kami
beralih nonton kewarung yang artinya kami harus menyiapkan uang 500 rupiah
sekedar membeli sebuah gorengan.
Aku ingat suatu
ketika sehabis kami menjarah buah jambu mak ijuih kami berkumpul di samping
surau dan melahap hasil curian. Jambu yang sangat manis, semanis tantangan yang
berhasil kami lalui, kalau saja tadi kami ketauan dan tertangkap tidak
terbayang berapa kali omelan pedas dan lecutan rotan yang harus kami terima
dari mak ijuih, belum lagi gunjingan ibu-ibu yang akan membuat orang tua kami
murka dan mendera kami dengan hukuman yang lebih keras, menyabit 3 karung
rumput, memandikan kerbau, dikurangi jatah makan dan lecutan kayu aru di kedua
telapak tangan. Itu belum selesai, ketika mengaji di surau kami akan kembali
mendapat hukuman dari buya, seratus pukulan rotan ditelapak kaki dan harus
menghafal 15ayat alquran dalam 3 hari, sebuah hukuman yang kelak membuat kami
menjadi generasi yang pandai menghargai kejujuran dan kehidupan
Setelah kekenyangan
kami berbagi cerita tentang kehebatan ayah kami, seolah-olah memang hanya
ayah-ayah kami lah super hero yang ada di muka bumi. Ketika itu si tikuak mengejek
dan merendahkan kehebatan bapaknya si tamin, suasana menjadi tegang karena si
tamin langsung menonjok mulut si tikuak. perkelahian satu lawan satu pun
terjadi, tidak ada yang melerai karena ini adalah pertarungan mempertaruhkan
harga diri, pemenang akan di sanjung dan yang kalah akan di turunkan nilai
jagoan nya, karena kami memang memiliki peringkat jagoan dari yang tertinggi
sampai yang terendah. Setelah puas melihat perkelahian satu lawan satu, mereka
yang berkelahi kami damaikan kembali, satu salaman saja mampu meredakan
ketegangan dan tidak akan ada dendam setelahnya. Karena sitikuak berhasil mengalahkan
si tamin peringkat si tikuak naik dari no 7 menjadi jagoan no 6 dan si tamin
harus iklas menerima kekalahan nya dan mengakui bahwa si tikuak lebih berani
dan jago berkelahi dari dirinya.
Malam minggu
adalah malam yamg kami tunggu-tunggu, karena hanya dimalam minggu lah kami
bebas berkeliaran hingga larut malam. Ada-ada saja yang kami kerjakan, mulai
dari main kejar-kejaran, perang-perangan, menaku-nakuti orang yang lewat dekat
kuburan hehehe,, ada yang sangat menarik dari ritual yang satu ini, siapuak..
salah seorang teman yang paling penakut kami dandani menjadi pocong, dengan
sentuhan kapur papan tulis wajahnya telah berubah memutih dan kami balut dengan
mukena yang dicuri dari surau. Jangankan orang yang lewat, kami saja yang tau
itu adalah si apuak takut memandang wajahnya. Waktu yang ditunggu-tunggu telah
datang, dari kejauhan samar-samar kedengaran suara orang bercengkrama, suasana
sangat gelap karna memang dikampung kami belum ada lampu jalan, selain jalan
nya masih jalan setapak, kiri dan kanannya dipenuhi oleh rimbunya pepohonan.
Suara itu semakin dekat dan siapuak berdiri dan bersiap menakuti orang yang
lewat, sontak suasana berubah menjadi lucu mereka yang lewat tadi takut alang
kepalang dan kabur pontang panting melihat pocong yang tiba-tiba keluar dari
semak belukar, kami hanya bisa menahan tawa karena takut ketauan, tapi malang..
salah satu dari teman orang yang lewat tadi tidak bergeming sedikitpun. Ia
tidak takut malah berteriak memaki pocong kami. Dari suaranya kami bisa
mengenali orangnya, rupanya ia adalah wan amaik,, celaka!! kami salah menakuti
orang, siapa yang tidak tau dengan wan amaik, pemuda pemberani yang tak takut
dengan jin, setan, dan sebangsa mahluk halus lainnya. “pergi kau setan!!!!
Sebelum kutangkap dan kujadikan santapan malam’’ hardiknya. Spontan siapuak
menangis ketakutan, mendengar tangisan sipocong wan amaik malah mengambil batu
dan melemparkannya. Tangis si apuak makin keras dan wan amaik makin geram,
“setan kurang ajar!!! Kau pikir aku takut??? Terimalah ini” dengan komat-kamit
membaca ayat kursi wan amaik membuka semua pakain nya dan bertelanjang bulat,
mungkin ia percaya dengan wan abuik yang dulu pernah mengatakan kepadanya bahwa
setan akan terbakar melihat manusia telanjang bulat. Kami pun tak bisa lagi menahan
tawa, sontak terbahak dan kabur dari persembunyian. Wan amaik yang sadar sudah
dikerjai buru-buru memasang pakaiannya dan berlalu dalam gelap.
Masa kecil yang
indah, masa kecil yang membuatku selalu tertawa dan merindukan teman-teman
sepermainan. Sekarang semua sudah menjalani kehidupan nya masing-masing.
Menjalankan perannya sebagai orang dewasa yang menahan sabar atas sikap
kenakalan masa kanak-kanak. Tar..tar..!! suara petasan membuyarkan lamunanku,
semua kembali seperti sedia kala, beton-beton kembali berdiri dan semua kenangan
kecilku menghilang dalam teriakan orang dewasa yang memarahi bocah kecil yang
melempar petasan ke dalam masjid.
Tidak ada komentar