Hilang Malam
Hilang Malam
Menginjak bulan Mei 1953 bapak ku di lahirkan ke dunia, putra pertama dari seorang guru mengaji yang juga seorang ahli pidato adat bernama Nasir bergelar pakiah , Di balik kebahagian ini sebelumnya nenek ku telah melahirkan 3 orang anak , namun mereka tidak sempat mengecam kerasnya dunia, maut telah menjemput sebelum tangisan pertama mereka . tentu saja di balik kebahagian malam itu kakek ku menyimpan kecemasan yang luar biasa tentang masa depan Adi, ya itulah nama yang di berikan kepada bapak ku. selain karna belum adanya layanan kesehatan yang baik, pada zaman itu minang kabau mulai bergejolak, tikus yang mengganas, paceklik yang berkepanjangan, ditambah dengan situasi politik antara daerah dan pusat yang semakin memburuk. konon kakek ku ambil bagian dalam situasi ini. tak terbayangkan betapa besar tekanan batin yang di rasakan kakek. setiap malam dia selalu di hantui tentang masa depan Hadi. situasi politik menyeret kakek ikut ambil bagian. tidak hanya gejolak dengan pusat namun didalam nagari atau kampung pun kakek ikut terseret kedalam masalah pasukuan dan gelar adat. dapat ku simpulkan kelahiran bapak ku berada pada situasi yang sangat mencekam, zaman di mana nyawa ayam tidak jauh berharga dari nyawa manusia. kapan saja kakek ku bisa di jemput paksa oleh militer atau oleh orang-orang yang mengatas namakan suku yang memahami adat. kalau ini terjadi maka tamatlah masa depan hadi .
Azan subuh berkumandang dan membangunkan kakek ku
dari lamunan. tak terasa kertas yang sejak semalam ingin dia tulis tak satupun
di ukir oleh tinta. entah apa yang membuat kakek ragu untuk menulis. padahal
rahasia yang ingin dia tuliskan adalah sesuatu yang amat penting yang akan
menyelamatkan masa depan ayah ku dan nasib puluhan saudara-saudaranya. Tapi
Takdir berkata lain Azan subuh itu kelak menjadi skenario kelam perjalanan
keturunan nya , sebab dialah satu-stunya yang mengetahui seluk beluk
keturunan dan semua rahasia kebesaran pada gelar kebangsawanan yang di sandang
oleh Sukunya.
kakek ku mempunyai 6 orang saudara laki-laki,
dua orang merantau ke medan untuk mencari penghidupan yang lebih baik,
sedangkan empat orang lagi bergabung dengan tentara PRRI atau yang lebih
dikenal dengan tentara rimbo (rimba) karna ketidak
puasan terhadap Bung Karno mereka memilih membangkang dan bergerilya mengangkat
senjata melawan tentara pusat.kakek ku memilih cara yang berbeda dari saudara-saudaranya,
walaupun tidak sejalan dengan pemikiran Bung Karno kakek ku tidak memilih
mengangkat senjata dan ikut berjuang melawan tentara pusat, melainkan ia terus
melakukan propoganda melalui diskusi-diskusi tentang adat yang ia adakan setiap
malam di rumahnya. sambil memberikan pelajaran tidak lupa ia megagungkan keunggulan
watak yang di miliki oleh orang minang, tentang sejarah kelam minangkabau dan
jawa, tentang sumbangan pemikiran luar biasa tokoh minang dalam mendirikan
Republik. tentang bahaya paham komunisme dan yang paling sering ia bicarakan adalah ketidak
adilan dan ketidak merataan pembangunan antara pusat dan daerah, sehingga
lambat laun anak didiknya tumbuh menjadi kritis dan memendam rasa tidak senang
terhadap pemerintah, Tak heran sebagian kalangan berpendapat ia orang berbahaya
terhadap keutuhan NKRI.
Tahun
1958 keadaan semakin memanas, ketegangan antara tentara pusat dan daerah
semakin menjadi, keadaan sudah sangat sulit untuk di kendalikan. tidak tau lagi
mana lawan dan kawan, setiap harinya akan terdengar berita tentang kematian,
korban yang berjatuhan sebagian besar adalah kalangan sipil bukan militer,ini
di karenakan banyaknya kalangan sipil yang memanfaatkan situasi peperangan
untuk melampiaskan dendam masalalu, perebutan gelar adat dengan tujuan
menguasai harta pusaka atau hanya karna sekedar ingin melepaskan diri dari
lilitan hutang, jadi tidak heran jika para penghulu, datuak-datuak ataupun
mereka yang melindungi hak-haknya banyak yang di lenyapkan dengan cara-cara
keji dan fitnah yang menyesatkan
Hari-hari
kian dirasakan makin berat oleh kakek ku, ketika situasi semakin memanas kakek
memilih untuk lebih berhati-hati dan menutup sekolah adat yang biasa diadakan
setiap malam di rumahnya, Ayahku terpaksa di ungsikan kerumah “bakonya” , untuk
berjaga-jaga kalau seandainya terjadi sesuatu yang tidak di inginkan nyawa ayah
ku dapat terselamatkan. malam ini kakek berdandan cukup rapi, dengan memakai
baju gunting cina dan celana putih ia duduk di beranda depan sambil menikmati segelas
kopi yang di hidangkan oleh nenek. kakek memang suka sekali melamun di sini,
karna di samping rumah terdapat sungai kecil yang di aliri air untuk memutar
kincir penumbuk padi, suara gemercik air yang berpacu bersama irama lesung
penumbuk padi seakan menyajikan lagu hidup yang menghilangkan kerisauan kakek.
Dari kejauhan tampak beberapa
orang menuruni pematang sawah, sepertinya mereka mau bertamu kerumah, Aneh
sekali Tidak biasanya ada yang bertamu
selarut ini. Kakek mulai merasakan firasat buruk namun ia tetap berusaha untuk
tenang. Mereka semakin dekat, tampak dengan tergesa-gesa mereka menyeberangi
jembatan bambu yang ada di depan rumah. Kakek bisa mengenali wajah mereka, yang
paling depan adalah syarifudin, saudara sekaum kakek yang kemaren sempat adu
mulut ketika berunding tentang siapa yang pantas menggantikan Datuak yang baru
saja meninggal, kakek tidak setuju ia menjadi datuak,karna bukan garis
keturunan nya menyandang gelar datuak ,tabiatnya juga terkenal buruk, licik,suka berjudi dan
bermain wanita , Dibelakangnya ada si Undun
pria pemalas yang sehari-harinya hanya duduk di kedai mengadu nasib dengan
berjudi, mungkin dia ingin membayar hutang pada kakek, Karena kemaren dia
berjanji untuk membayarnya hari ini, di belakang si undun menyusul tiga orang
berpakaian serba hitam, sepertinya mereka OPR yang sering kerumah mengintrogasi
kakek dan selalu menanyakan keberada’an empat saudara kakek yang ikut
bergerilya melawan tentara pusat
Tanpa
basa-basi si syarifudin langsung menerobos kerumah, kakek tidak dapat berbuat
apa-apa, karna si undun dan dua tentara OPR memegang tangan nya, kakek ku
diam saja dan tidak berusaha melawan karena ia tidak ingin membangunkan nenek
dan membuatnya cemas. Beberapa saat kemudian si sarifudin keluar dari rumah
dengan membawa sebuah tas lusuh berwarna hitam, isinya adalah beberapa dokumen
berharga kakek, surat-surat kepemilikan tanah, Ranji keturunan nya, dan
beberapa lembar surat pagang atau surat perjanjian hutang di dalam tas hitam
itu juga terdapat catatan kakek mengenai
pergerakan PRRI
Aneh sekali kenapa ia bisa tau kakek menyimpan semua surat-surat berharganya di tas hitam yang lusuh, Syarifudin kemudian menyeret kakek untuk pergi bersama mereka, dengan berusaha untuk tenang tanpa bicara sedikut pun kakek menuruti kemauan nya
Tidak ada
ketakutan membekas di wajah kakek, hanya senyum simpul yang seolah-olah
mengisyaratkan bahwa ia tau ini akan terjadi.
Malam
semakin mencekam. Suara lolongan anjing terdengar bersahutan dengan suara petir yang menggelegar, dan
kakek telah hilang besama derasnya hujan.
Kota padangpanjang telah beranjak subuh dan garin di surau telah
mengumandangkan azan, subuh kali ini begitu dingin sekali, awan mendung masih
menyelimuti langit padahal semalam hujan nya deras sekali dan baru reda dini
hari. Dari arah batipuh telah keliatan Mak Sati dengan pedatinya, dengan
berbalut sarung ia berusaha menerobos dinginya subuh. Sesekali ia menguap
mungkin karena tidurnya semalam yang kurang nyenyak atau karna suara lonceng di
leher kerbau pedatinya yang mendayu-dayu dan membuatnya kembali mengantuk
Ketika memasuki kota
Padangpanjang, alangkah terkejutnya mak sati. Di tengah jalan terbujur
seseorang dengan baju yang bersimbah darah.
Mak Sati langsung melompat dari pedatinya, Ia penasaran siapa lagi yang menjadi
korban pagi ini, dengan ragu-ragu mayat yang tertelungkup itu di balikkan,
ternyata dia adalah kakek ku, Pakiah yang di tembak dua kali didada
dan satu di kepala na’as sekali hari itu, ayahku yang masih berusia lima tahun telah menjadi Yatim .
Sejak
kejadian itu Nenek harus membanting
tulang membesarkan anaknya sendirian, kehidupan mereka tidak lagi sama seperti
sebelumnya. Ladang nya yang tidak seberapa di rebut paksa oleh
saudara-saudaranya. Beberapa orang yang berhutang kepada almarhum kakek juga
tidak mau mengakui dan membayar hutang mereka. Dengan kesedihan mengenang
nasibnya yang malang ia harus tetap mengais rezeki bekerja di ladang orang demi
sesuap nasi dan membesarkan anak satu-satunya, tidak jarang ubi bakar terkadang
menjadi pengganti nasi, jika cuaca sedang buruk mereka terpaksa berpuasa karena
tidak ada yang bisa di makan. Yang
paling menyakitkan semenjak kematian kakek setiap magrib nenek melamun dengan
pilu dan tidak pernah lagi tersenyum.
Saudara-saudara perempuan kakek ku juga merasakan penderitaan yang sama,
sejak kematian kakek satu-satunya orang yang mau membela hak mereka,
satu-persatu ladang mereka di rebut dengan paksa, dengan berbagai dalil mereka
membuat seolah-olah keturunan kakek ku adalah pendatang yang hidupnya
menumpang, padahal mereka sendiri belum
tau kebenaran nya, beberapa tahun
kemudian mereka melakukan pengusiran terhadap saudara kakek ku. Membuat
merekasangat menderita, miskin, terusir dan terhina
Sekarang tepat 55 Tahun ayah ku menjadi Yatim, namun Yatimnya ayahku masih menyisakan pertanyaan, apakah karena memberikan hutang, karena kekuasan, ketamakan dengan harta, atau karna mereka gila gelar kebangsawanan. Tapi yang jelas saat ini ayahku masih menyimpan kesedihan, penderitaan yang berkepanjangan, perjuangan untuk menjalani hidup tanpa pernah merasakan kasih sayang seorang ayah yang di jemput paksa.
Penulis : MHD.
Tidak ada komentar